Baca Juga
Syaikh Muhammad bin Shalih
al-‘Utsaimin–ulama Wahhabi kontemporer di Saudi Arabia yang sangat populer dan
kharismatik-, mempunyai seorang guru yang sangat alim dan kharismatik di
kalangan kaum Wahhabi, yaitu Syaikh Abdurrahman bin Nashir al-Sa’di. Ia dikenal
dengan julukan Syaikh Ibnu Sa’di. Ia memiliki banyak karangan, di antaranya
yang paling populer adalah karyanya yang berjudul, Taisir al-Karim al-Rahman
fi Tafsir Kalam al-Mannan, kitab tafsir setebal 5 jilid, yang mengikuti
paradigma pemikiran Wahhabi. Tafsir ini di kalangan Wahhabi menyamai kedudukan
Tafsir al-Jalalain di kalangan kaum Sunni.
Syaikh Ibnu Sa’di dikenal sebagai ulama Wahhabi
yang ekstrem. Namun demikian, terkadang ia mudah insyaf dan mau mengikuti kebenaran,
dari manapun kebenaran itu datangnya.
Suatu ketika, al-Imam al-Sayyid ‘Alwi bin Abbas
al-Maliki al-Hasani (ayahanda al Sayyid Muhammad bin ‘Alwi al-Maliki) sedang duduk-duduk
di serambi Masjidil Haram bersama murid-muridnya dalam halaqah pengajiannya.
Di bagian lain serambi Masjidil Haram tersebut, Syaikh Ibnu Sa’di juga duduk-duduk
bersama anak buahnya. Sementara orang-orang di Masjidil Haram sedang larut dalam
ibadah. Ada yang shalat dan ada pula yang thawaf. Pada saat itu, langit
di atas Masjidil Haram diselimuti mendung tebal yang menggelantung. Sepertinya
sebentar lagi hujan lebat akan segera mengguyur tanah suci umat Islam itu.
Tiba-tiba air hujan itu pun turun dengan lebatnya.
Akibatnya, saluran air di atas Ka’bah mengalirkan air hujan itu dengan derasnya.
Melihat air begitu deras dari saluran air di atas kiblat kaum Muslimin yang berbentuk
kubus itu, orang-orang Hijaz seperti kebiasaan mereka, segera berhamburan menuju
saluran itu dan mengambil air tersebut. Air itu mereka tuangkan ke baju dan tubuh
mereka, dengan harapan mendapatkan berkah dari air itu.
Melihat kejadian tersebut, para polisi pamong
praja Kerajaan Saudi Arabia, yang sebagian besar berasal dari orang Baduwi, daerah
Najd itu, menjadi terkejut dan mengira bahwa orang-orang Hijaz tersebut telah terjerumus
dalam lumpur kesyirikan dan menyembah selain Allah subhanahu wa ta’ala dengan ngalap
barokah dari air itu. Akhirnya para polisi pamong praja itu menghampiri
kerumunan orang-orang Hijaz dan berkata kepada mereka yang sedang mengambil berkah
air hujan yang mengalir dari saluran air Ka’bah itu, “Hai orang-orang musyrik, jangan
lakukan itu. Itu perbuatan syirik. Itu perbuatan syirik. Hentikan!” Demikian teguran
keras para polisi pamong praja kerajaan Wahhabi itu.
Mendengar teguran para polisi pamong praja
itu, orang-orang Hijaz itu pun segera membubarkan diri dan pergi menuju Sayyid ‘Alwi
yang sedang mengajar murid-muridnya di halaqah tempat beliau mengajar secara
rutin. Kepada beliau, mereka menanyakan perihal hukum mengambil berkah dari air
hujan yang mengalir dari saluran air di Ka’bah itu. Ternyata Sayyid ‘Alwi membolehkan
dan bahkan mendorong mereka untuk terus melakukannya.
Menerima fatwa Sayyid ‘Alwi yang melegitimasi
perbuatan mereka, akhirnya untuk yang kedua kalinya, orang-orang Hijaz itu pun berhamburan
lagi menuju saluran air di Ka’bah itu, dengan tujuan mengambil berkah air hujan
yang jatuh darinya, tanpa mengindahkan teguran para polisi Baduwi tersebut. Bahkan
ketika para polisi Baduwi itu menegur mereka untuk yang kedua kalinya, orang-orang
Hijaz itu menjawab, “Kami tidak peduli teguran Anda, setelah Sayyid ‘Alwi
berfatwa kepada kami tentang kebolehan mengambil berkah dari air ini.”
Akhirnya, melihat orang-orang Hijaz itu tidak
mengindahkan teguran, para polisi Baduwi itu pun segera mendatangi halaqah
Syaikh Ibnu Sa’di, guru mereka. Mereka mengadukan perihal fatwa Sayyid ‘Alwi yang
menganggap bahwa air hujan itu ada berkahnya. Akhirnya, setelah mendengar laporan
para polisi Baduwi, yang merupakan anak buahnya itu, Syaikh Ibnu Sa’di segera mengambil
selendangnya dan bangkit berjalan menghampiri halaqah Sayyid ‘Alwi.
Kemudian dengan perlahan Syaikh Ibn Sa’di itu duduk di sebelah Sayyid ‘Alwi.
Sementara orang-orang dari berbagai golongan, berkumpul mengelilingi kedua
ulama besar itu. Mereka menunggu-nunggu, apa yang akan dibicarakan oleh dua ulama
besar itu.
Dengan penuh sopan santun dan etika, layaknya
seorang ulama besar, Syaikh Ibnu Sa’di bertanya kepada Sayyid ‘Alwi: “Wahai Sayyid,
benarkah Anda berkata kepada orang-orang itu bahwa air hujan yang turun dari saluran
air di Ka’bah itu ada berkahnya?”
Mendengar pertanyaan Syaikh Ibn Sa’di, Sayyid
‘Alwi menjawab: “Benar. Bahkan air tersebut memiliki dua berkah.”
Mendengar jawaban tersebut, Syaikh Ibnu Sa’di terkejut dan berkata: “Bagaimana hal
itu bisa terjadi?”
Sayyid ‘Alwi menjawab: “Karena Allah subhanahu
wa ta’ala berfirman dalam Kitab-Nya tentang air hujan:
ونزلنا من السماء ماء مباركا. (ق: ٩)
"Dan Kami
turunkan dari langit air yang mengandung berkah." (QS. 50 :
9).
Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman
mengenai Ka’bah:
ان اول بيت وضع للناس للذي ببكة مباركا. (ال عمران: ٩٦).
"Sesungguhnya
rumah yang pertama kali diletakkan bagi umat manusia adalah rumah yang ada di
Bakkah (Makkah), yang diberkahi (oleh Allah)." (QS. 3 :
96).
Dengan demikian air hujan yang turun dari saluran
air di atas Ka’bah itu memiliki dua berkah, yaitu berkah yang turun dari langit
dan berkah yang terdapat pada Baitullah ini.”
Mendengar jawaban tersebut, Syaikh Ibnu Sa’di
merasa heran dan kagum kepada Sayyid ‘Alwi. Kemudian dengan penuh kesadaran, mulut
Syaikh Ibnu Sa’di itu melontarkan perkataan yang sangat mulia, sebagai pengakuannya
akan kebenaran ucapan Sayyid ‘Alwi: “Subhanallah (Maha Suci Allah), bagaimana
kami bisa lalai dari kedua ayat ini?”
Kemudian Syaikh Ibnu Sa’di mengucapkan terima
kasih kepada Sayyid ‘Alwi dan meminta izin untuk meninggalkan halaqah tersebut.
Namun Sayyid ‘Alwi berkata kepada Syaikh Ibnu Sa’di: “Tenang dulu, wahai Syaikh
Ibnu Sa’di. Aku melihat para polisi Baduwi itu mengira bahwa apa yang dilakukan
oleh kaum Muslimin, dengan mengambil berkah air hujan yang mengalir dari saluran
air di Ka’bah, itu sebagai perbuatan syirik. Mereka tidak akan berhenti mengkafirkan
dan mensyirikkan orang dalam masalah ini sebelum mereka melihat orang seperti
Anda melarang mereka. Oleh karena itu, sekarang bangkitlah Anda menuju saluran air
di Ka’bah itu. Lalu ambillah air di situ di depan para polisi Baduwi itu,
sehingga mereka akan berhenti mensyirikkan orang lain.”
Akhirnya mendengar saran Sayyid ‘Alwi, Syaikh
Ibnu Sa’di segera bangkit menuju saluran air di Ka’bah. Ia basahi pakaiannya dengan
air itu, dan ia pun mengambil air itu untuk diminumnya dengan tujuan mengambil berkahnya.
Melihat tindakan Syaikh Ibnu Sa’di ini, para polisi Baduwi itu pun akhirnya pergi
meninggalkan Masjidil Haram dengan perasaan malu.
Kisah ini disebutkan oleh Syaikh Abdul Fattah
Rawwah, dalam kitab Tsabat (kumpulan sanad-sanad keilmuannya). Beliau murid
Sayyid ‘Alwi al-Maliki dan termasuk salah seorang saksi mata kejadian itu.
Syaikh Ibn Sa’di sebenarnya seorang yang sangat alim. Ia pakar dalam bidang
tafsir. Apabila berbicara tafsir, ia mampu menguraikan makna dan maksud ayat al-Qur’an
dari berbagai aspeknya di luar kepala dengan bahasa yang sangat bagus dan mudah
dimengerti. Akan tetapi sayang, ideologi Wahhabi yang diikutinya berpengaruh
terhadap paradigma pemikiran beliau. Aroma Wahhabi sangat kental dengan tafsir
yang ditulisnya.
Dikutip dari: Buku Pintar
Berdebat Dengan Wahhabi, LBM NU Jember, Surabaya, Bina Aswaja, 2010
0 comments:
Post a Comment